Oleh Kang Warsa
SUKABUMISATU.COM – Rasa khawatir tradisi dan budaya akan tercerabut dari kehidupan bukan hal yang harus dilebih-lebihkan. Hal ini cukup beralasan: pertama, peradaban yang dibangun oleh manusia di masa lalu akan terus bertransformasi ke dalam cara dan bentuk lain. Kedua, tradisi lama di berbagai belahan dunia hingga saat ini masih banyak mewarnai kehidupan, sebagai contoh: sunda/">orang Sunda sampai saat ini masih banyak memegang teguh tradisi, adat, dan kebiasaan mereka. Atas alasan ini, yang harus diejawantahkan dalam kehidupan yaitu memahami sifat-sifat kebudayaan (hasil proses budaya) yang terus mengalir disertai kecairan dirinya sebagai karakter budaya yang adaptif serta akomodatif.
Kendati demikian, bukan berarti budaya tidak akan mengalami kepunahan dan tidak lagi dipandang sebagai budaya suatu daerah. Ikhtiar untuk melestarikannya tetap harus dilakukan, tidak jauh berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh manusia dari generasi ke generasi dalam melestarikan keberadaan spesiesnya. Berbagai cara telah ditempuh sebagai upaya pelestarian budaya, masyarakat Sunda –kendati hal ini merupakan salah satu kebijakan di masa kepemimpinan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil- mengeluarkan regulasi “Rebo Nyunda”. Regulasi ini bersifat antisipatif mengingat kekhawatiran kalangan pemerhati budaya terhadap hilangnya beberapa unsur budaya Sunda semakin mencuat.
Kekhawatiran di atas beralasan namun sejauh ini belum didasarkan atas kajian-kajian holistik. Budaya dan tradisi Sunda secara manifes masih terus bertransformasi dan mengalami adaptasi. Akar budaya Sunda sendiri masih tertancap kokoh pada dasar kehidupan masyarakat Sunda. Unsur kebudayaan seperti bahasa dan kesenian tetap dipraktikkan dalam keseharian masyarakat Sunda. Hal paling mengerikan dalam budaya terletak dari seberapa besar segregasi budaya dan agresi budaya lain yang disebarluaskan dengan tidak memperhatikan sifat akomodatif dari para penyebarnya. Misalnya, selama satu dekade ini kita harus menghadapi opini sebuah kelompok puritan yang sering menyudutkan budaya dan tradisi bangsa. Mereka begitu mudah menggunakan tema keagamaan seperti bid’ah, musyrik, khurafat, dan takhayul dalam menilai tradisi adiluhung bangsa.
Penggunaan terma-terma keagamaan dalam upaya nihilisasi tradisi dan budaya jelas sekali berseberangan dengan nilai-nilai agama yang melarang upaya pemaksaan. Di sisi lain, pandangan dari kelompok purifikasi ini telah memicu kelompok para pecinta budaya bangsa untuk melakukan perlawanan. Tanpa memahami siapa yang sedang dihadapi, pada akhirnya tidak sedikit para pecinta budaya ini mengeluarkan pandangan sebagai negasi bahwa kehadiran agama-agama dari luar telah menggerus budaya asli Nusantara. Padahal seperti telah penulis sebutkan, budaya dan tradisi bersifat cair memungkinkan tidak lepas dari perubahan bentuk dan tampilan.
Cara pandang mempolarisasikan agama dengan budaya, mengutubkan antara keduanya sama dengan menjauhkan dua hal penting dalam kehidupan kemudian menjebak para pengusungnya memasuki salah satu kutub yang saling berlawanan. Agama dan budaya memiliki pesan penting perdamaian, akur jeung dulur, dan melarang pertikaian, sudah sepatutnya dijadikan rujukan oleh siapapun yang konsen terhadap dua entitas kehidupan ini. Hal ini bukan tanpa alasan, kedua entitas ini masih tetap berjalan beriringan mewarnai kehidupan, terlebih di masyarakat Sunda yang kental dengan agama sekaligus sebagai pengamal tradisi.
Sebagai bagian dari salah satu etnis terbesar di Nusantara yaitu Sunda sekaligus sebagai seorang muslim, saya tidak memiliki alasan yang jelas untuk membenturkan agama dengan budaya. Dua entitas ini memiliki pertalian organik yang kuat. Contohnya, orang-orang beragama yang tinggal di Jawa Barat dari generasi ke generasi dapat mengamalkan ajaran agama sekaligus menjalankan budaya dan tradisinya. Seorang muslim yang tinggal di Tatar Pasundan tetap menggunakan bahasa Sunda saat berkomunikasi tidak serta merta menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar komunikasinya. Penganut Kristen tidak lantas dituntut menggunakan bahasa Latin dan Yunani sebagai bahasa pengantar komunikasi hanya karena ajaran mereka di masa formatifnya menjadikan kedua bahasa ini sebagai pengantar komunikasi.
Akomodasi dan akulturasi yang tepat antara nilai-nilai agama dengan budaya justru telah melahirkan khazanah baru dalam kehidupan. Spektrum agama dan budaya terlalu luas untuk dikerdilkan oleh asumsi kelompok dan pribadi. Hingga cara pandang keliru seperti membenturkan (ngadurengéskeun) agama dan budaya akan melahirkan dua hal: pertama, nilai agama yang seharusnya menjadi air penyejuk justru dipaksa tampil dalam wujud kasar. Kedua, budaya hanya dipandang dari sisi profan, padahal budaya dan tradisi dapat menjadi wasilah pertumbuhan spiritualitas, nilai-nilai yang dapat mengantarkan manusia pada Dia Yang Maha Indah.
Orang Sunda ingin menjadikan budayanya tetap lestari dan eksis sebagai cara atau tarékah nyata agar diri mereka tidak terpisah dengan akar masa lalunya. Hal wajar, agama tidak semestinya menjauhkan penganutnya dari budayanya karena agama diturunkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Suatu hari saya ditanya oleh seseorang: apakah ngukus (membakar kemenyan) termasuk perbuatan musyrik? Para ulama dari masa ke masa telah membuat koridor yang jelas dalam menjatuhkan hukum terhadap satu perkara. Musyrik dan tidak musyrik merupakan bagian penting dari teologis. Seseorang yang melakukan perbuatan jahat tidak serta merta menjadi musyrik karena perbuatan tersebut tidak memiliki irisan dengan bidang teologis. Ngukus atau membakar kemenyan dengan ritual tertentu tidak serta merta dikategorikan sebagai perbuatan musyrik karena hal ini tidak menyentuh ranah teologis.
Tidak jauh berbeda dengan seseorang yang menghormat bendera, hal ini ada di ranah muamalah. Bandingkan dengan sekarang, mayoritas manusia modern tidak dapat lepas dari piranti seperti gawai, mencintai pekerjaan, menyayangi uang, diperbudak jabatan, dan menghamba pada hal-hal profan serta nisbi. Bahkan, orang-orang yang takut kelompok lain berbuat musyrik pun dapat saja dikelompokkan ke dalam perbuatan musyrik karena mereka telah melebihi kapasitas dirinya dan sudah tidak percaya sepenuhnya kepada konsep ilahi tentang baik dan buruk. Merasa sok tahu dengan menjatuhkan hukum musyrik terhadap satu perbuatan sama dengan merenggut peran Tuhan. Bukan lagi Tuhan yang disembah melainkan cara untuk menyembah Tuhan yang disujudi. Walakin, sikap-sikap seperti ini tentu saja tidak langsung dipandang sebagai bentuk kemusyrikan.
Masyarakat Sunda memiliki cara tersendiri untuk mempertahankan eksistensi kediriannya melalui tradisi yang telah sekian lama dipraktikkan dari generasi ke generasi kendati hanya dengan menampilkannya secara pekanan (minggonan) melalui kegiatan Rebo Nyunda. Budaya dan tradisi harus teraktualisasi dalam kehidupan, tidak seharusnya diciutkan oleh stigma tidak tepat misalnya menuduh bid’ah dan musyrik terhadap tradisi-tradisi tertentu. Apakah tidak mustahil, justru wujud-wujud kemusyrikan yang nyata sering ditampilkan oleh para penganut fanatik sebuah keyakinan? Jika kemusyrikan dan politeisme hanya ditentukan oleh perbuatan yang nampak lantas apakah perbuatan para penganut agama seperti sujud di depan Kabah, memuja Yesus, duduk bersimpuh di depan patung kemudian harus dikategorikan sebagai perbuatan musyrik? Tentu saja tidak. Kita dituntut untuk bersikap bijak dalam menilai banyak hal yang tidak kita ketahui secara mendalam.
Rebo Nyunda hanya sebuah upaya, sementara itu praktik nyata melestarikan budaya dan tradisi Sunda terletak dari perilaku masyarakat Sunda sendiri. Saya pikir, siapapun tidak akan salah menjadi manusia berbudaya sekaligus menganut suatu agama tanpa diembel-embeli oleh sikap merasa ujub bahwa pandangan dirinyalah yang paling benar. Orang Sunda jangan pernah menghilangkan tradisi dan budayanya hanya karena dipandang sebagai perbuatan musyrik oleh pihak lain. Sikap merasa selalu kalah oleh pihak lain hanya akan melahirkan generasi minder yang malu memperlihatkan eksistensi dan aktualisasi diri.