SUKABUMISATU.COM – Sekitar 145 tahun yang lalu, seorang pengusaha timah dari Manggar, J.F. den Dekker, mencatatkan sejarah sebagai pemilik perkebunan kopi luas di Sukabumi, yang mencapai sekitar 228 hektar.
Kepemilikan ini diperoleh melalui sistem erfpacht (istilah Belanda) atau Hak Guna Usaha (HGU), sebuah hak sewa yang memungkinkan warga Belanda dan pribumi mengelola lahan di wilayah Hindia Belanda pada masa itu.
Rincian tentang perkebunan kopi ini tercatat dalam Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie edisi tahun 1880, halaman 316-317. Dalam tabel bertajuk Staat der Partikulier Landbouw Ondernemingen, disebutkan bahwa den Dekker, yang menjabat sebagai kepala distrik tambang timah Manggar sekaligus pendiri NV Billiton Maatschappij, memperoleh kebun kopi tersebut sejak 27 Juli 1875 dengan luas 200 bau.
Dia kemudian memperluasnya dengan membeli 122 bau lagi pada 18 Desember 1877, sehingga total luasnya mencapai 322 bau atau sekitar 228,5 hektar.
Den Dekker adalah tokoh asal Manado yang berperan penting dalam pengembangan tambang timah di Manggar, yang pada masa itu menjadi pusat industri di Burong Mandi. Sebagai Districtsadministrateur di Billiton dari tahun 1860 hingga 1881, ia menjadi salah satu pionir industri timah di Nusantara. Menurut Cornelis De Groot, den Dekker pernah meminta pendapatnya untuk memilih nama yang cocok untuk ibu kota distrik baru yang akan dibangun. Nama yang diperdebatkan antara den Dekker dan F.W.H. Von Hedemann, sang Hoofdadministratie, adalah Burong Mandi dan Lenggang. Akhirnya, De Groot memilih nama Manggar, diambil dari sungai yang terletak di tengah-tengah distrik tambang, dengan keyakinan bahwa lokasi tersebut akan mendorong perkembangan ibu kota distrik baru. Pada tahun 1866, distrik yang sebelumnya dikenal sebagai Distrik Burong Mandi – Lenggang diubah namanya menjadi Distrik Manggar, dengan ibu kota di Manggar. Perubahan ini tercatat dalam lampiran buku Billiton-Opstellen karya P.H. Van Der Kemp, yang diterbitkan tahun 1886 di Batavia.
Kisah hidup den Dekker dan perjalanannya dalam dunia tambang juga diabadikan dalam karya sastra berjudul ‘Saer Perjalanan Toen JF Den Dekker dan anaknya L. Den Dekker’, yang ditulis oleh sahabatnya, Datuk Entjik Mohammad Arsyad bin Lendoet, seorang juru tulis asal Sijuk. Datuk Mohammad Arsyad mengisahkan bahwa walaupun den Dekker bukan seorang insinyur tambang dan tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi, ia berhasil meraih kesuksesan besar di bidang pertambangan timah di Pulau Belitong. Bahkan, keberhasilannya tersebut mendapat pujian dari pimpinan tertinggi NV Billiton Maatschappij.
Salah satu pencapaiannya adalah memimpin sejumlah tambang timah yang kaya, termasuk tambang parit Asam Lobang dan tambang timah terkaya di Manggar, yaitu tambang parit Bengkuang (sekarang dikenal sebagai Kilang Minyak, Manggar).
Pada tahun 1881, setelah mengabdikan diri selama lebih dari dua dekade, den Dekker memutuskan pensiun. Sepeninggalannya, pembangunan tambang di Distrik Manggar tetap berlangsung, termasuk pembangunan akses jalan dan jembatan penghubung. Bahkan, kawasan pemukiman khusus juga dibangun untuk pejabat Belanda yang bertugas di NV Billiton Maatschappij. Setelah pensiun, den Dekker meneruskan perjalanannya ke Timor dan Pahang, Malaysia, dengan tujuan yang sama, yaitu mencari pasir timah. Perjalanan ini kemudian dilanjutkan oleh putranya, Lois den Dekker, bersama dua rekan di Belitong, Kapiten Ho A Joen dan Lim A San.

Di masa tuanya, den Dekker memilih menetap di Kampung Pebaton, Bogor (dulunya disebut Buitenzorg) dengan uang pensiun sebesar £1000 per bulan, serta penghasilan dari aset lain yang dimilikinya, termasuk kebun kopi di Sukabumi. Kebun kopi ini dibeli pada 27 Juli 1875 dengan luas 200 bau sebagai tahap awal, kemudian diperluas 122 bau pada 18 Desember 1877. Rincian kepemilikan kebun kopi ini tercatat dalam Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1880. Pada 19 Juli 1898, J.F. den Dekker meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Eropa, Bogor, Jawa Barat.
Jejak sejarah kepemilikan perkebunan kopi den Dekker ini turut diabadikan dalam buku Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumberdaya Alam di Halimun, khususnya dalam tulisan “Profil Sejarah Kawasan Ekosistem Halimun: Sebuah Pengantar Diskusi” oleh Reiza D. Dienaputra.
Reiza mengungkapkan bahwa perkebunan kopi di Sukabumi tersebar di empat distrik, dengan distrik Pelabuhanratu sebagai wilayah perkebunan terbesar, mencapai 2885 bau. Di distrik ini, tanah yang dikelola oleh Den Dekker berada di persil Ongkrak, seluas 322 bau, yang difokuskan untuk budidaya kopi.
Rumah yang muncul dalam foto kebun kopi tua di Sukabumi, kemungkinan besar adalah milik den Dekker namun dalam artikel itu tidak disebutkan lokasi tepatnya dimana. Rumah tersebut, yang dibangun sekitar tahun 1875, menyimpan kenangan tentang keberadaan den Dekker di Sukabumi, sekaligus menjadi saksi bisu jejak perjalanan sejarah perkebunan kopi di Tanah Priangan. Sumber : KPSP Peta Belitung