SUKABUMISATU.com – Sembilan jiwa terdiri dari tiga kepala keluarga (KK) selama 4 tahun masih tetap bertahan di tengah-tengah kampung mati. Kampung tersebut berada di Gunung Batu, Desa Kerta Angsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Mirisnya, selama empat tahun itu mereka tetap tinggal di rumahnya walaupun kondisi bangunan sudah miring. Di tengah kekhawatiran, para warga masih menanti janji-janji pemerintah untuk menyiapkan hunian tetap (Huntap) yang nampanya baru wacana belaka.
Dulunya di Kampung Gunung Batu itu ada sekitar 129 rumah yang di huni oleh 482 jiwa dari 161 kepala keluarga. Namun pada Mei 2019 silam, kampung tersebut dilanda bencana pergerakan tanah sehingga ratusan warga kini meninggalkan kampung halamannya itu.
Suasana sunyi dan sepi terasa saat memasuki kampung tersebut. Beberapa bangunan tembok bekas rumah dan atap rumah yang masih terlihat membuat bulu kuduk bisa merinding saat melintas di kampung mati ini.
Korban pergerakan tanah, Omah Romlah, mengatakan selama empat tahun, dirinya bersama sang suami dan satu orang anak memilih tetap bertahan. Mereka hanya mengungsi ketika musim curah hujan tinggi dan kembali lagi ke rumahnya saat sudah reda. Terkadang mereka menyewa rumah hanya untuk tidur saja.
“Iya takut, kadang tegang ya gimana yah. Masih di sini kalau siang, kalau malam ngontrak, kalau hujan deras ya pergi ke kontrakan kalau hujannya kecil ya disini gitu. Sudah empat tahun gitu, kalau harapan ya, ingin cepet-cepet huntap yah, biar ada tempat tinggal yang nyaman, gak takut lagi,” kata Omah saat disambangi sukabumisatu.com beberapa hari yang lalu.
Korban lainnya, Uyeh Hariadi mengaku tetap memaksakan diri untuk tinggal di rumah yang sudah tidak layak dihuni. Lahan pertanian tempat Uyeh mengais rezeki terletak tidak jauh dari rumahnya.
“Pertama disini, saya sudah empat tahun, dari 2019 abis pemilihan presiden sampai sekarang, kata ketua BPBD akan dibangunkan untuk huntap di lokasi Cimenteng, nah sampai sekarang belum terjadi huntapnya makanya Abah memaksain diri diam disini karena Abah rumah gak bisa dikunci, terus pertanian disini rusak semua,” ujarnya.
Dia pun tidak menampik akan musibah yang mengancam jiwanya lantaran tetap memaksa tinggal di rumah yang terancam ambruk itu.
“Kekhawatiran sama, takut meninggal atau mati ketiban. Tapi cuma siang doang sekarang, Abah itu ngontrak di daerah pasir salam, nah sekarang kalau siang terang ada disini kalau hujan Abah nginep di sana semua sambil nunggu dibangunin huntap,” lirihnya.
Sementara, Korban lainnya atau hampir seluruh korban pergerakan tanah di kampung gunung batu ini bertahan di hunian sementara yang ada di Kampung Ciboregah. Hunian sementara yang seharusnya dihuni 2 tahun, warga terpaksa menempati hingga selama empat tahun, sebab hingga kini tak ada kejelasan mengenai hunian tetap dari Pemerintah Daerah.
Reporter: Riza Fauzi | Redaktur: Mulvi Mohammad Noor