SUKABUMISATU.COM – Kabupaten Sukabumi baru saja kehilangan salah satu ulama kharismatik yang banyak berjasa di banyak bidang. KH Mahmud Mudrikah Hanafi, atau yang lebih dikenal dengan sapaan Ama Mudrikah atau Ama Siqoy meninggal dunia tepat di malam Nuzulul Quran, 17 Ramadhan 1444 Hijriyah atau Jumat (7/4/2023).
Ama Mudrikah adalah sosok ulama tersohor asal Sukabumi. Berikut ini ulasan singkat mengenai biografi Ama Mudrikah.
Lahir di Jampang Kidul
Ama Mudrikah adalah adalah anak dari KH Hasbulloh dan Ibu Hj Syamsiah. Beliau dilahirkan di Jampang Kidul, di Desa Cibadak, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi pada 8 Agustus 1945.
Dilansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama, Ama Mudrikah lahir dan tumbuh besar di lingkungan pesantren yang kental dengan tradisi keilmuan Ahlussunah wal Jamaah.
Kakek dari pihak ibunya, adalah KH Hanafi. Juga dikenal sebagai ulama yang berhasil mendidik keturunannya menjadi pemuka agama dan mampu mendirikan pondok pesantren.
Kemudian kakek dari pihak ayahnya adalah KH Ahmad Soleh. Seorang kyai keturunan Dalem Cikundul Cianjur, generasi ke sepuluh dari Raden Aria Wiratanudatar.
Di laman tersebut Ama Mudrikah juga pernah bercerita bahwa ayahnya, KH Hasbulloh, adalah kyai pertama yang mendirikan pesantren di Jampang.
Berguru hingga ke Mekah
Ama Mudrikah dikenal sebagai ulama Sukabumi yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Hal tersebut tak terlepas dari pengalamannya dalam mencari ilmu. Tak hanya di Jawa Barat, Ama Mudrikah juga pernah berguru ke salah satu ulama Mekah.
Ama Mudrikah pernah menimba ilmu di beberapa pesantren. Diantaranya di Pesantren Cibeureum Darul Hikam kepada Mama Ajengan KH Mahmud Zamakhsari. Setelah itu Ia melanjutkan untuk berilmu ke Pesantren Cikaret.
Selanjutnya beliau juga berguru kepada Mama Ajengan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri Purwakarta (Mama Sempur). Mama Sempur merupakan ulama Sunda yang kharismatik, keturunan Kesultanan Banten dan dikenal banyak menulis kitab.
Dari situ, Ama Mudrikah berguru kepada KH Ahmad Syuja’i atau Mama Ciharashas, Cianjur. Ulama tersohor yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam di Jawa Barat.
Ama Mudrikah juga pernah berguru ke salah satu ulama di Mekah, Arab Saudi yakni Said Alqi Al-Maliki. Hal tu dilakukan saat Ama Mudrikah dan sang istri Hajjah E Kuraesin menjalankan ibadah haji pada 1982.
Sebagai sosok yang lahir di era kemerdekaan, Ama Mudrikah juga pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah rakyat.
Nahdliyin Pejuang Sejati
Darah Nahdliyin mengalir kental pada Ama Mudrikah. Apalagi saat nyantri di Cianjur, Ia ditempa Mama Ciharashas agar selalu berjuang untuk NU.
Di masa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) pada 1965, Ama Mudrikah menjabat sebagai Ketua GP Ansor Sukabumi. Saat itu, Ia turut diutus Mama Ciharashas untuk pergi ke Lubang Buaya selama empat malam.
Seperti diketahui, pada peristiwa akhir September dan awal Oktober tahun 1965, NU mengeluarkan pernyataan resmi yang menuntut pembubaran PKI dan organ-organnya.
Selain itu NU juga menyerukan keterlibatan umat Islam untuk mendukung ABRI dalam aksi penumpasan PKI. Semenjak itu Ama Mudrikah mulai berkhidmah di NU sampai sekarang.
Hingga sebelum meninggal, Ama Mudrikah masih konsisten bersama NU. Terakhir Ia menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Sukabumi.
Masih dilansir dari sumber yang sama, Ama Mudrikah pernah menceritakan kecintaannya kepada NU. Ia juga menyinggung kepemimpinan orde baru di bawah Presiden Soeharto yang menurutnya terkesan ingin menghabisi NU.
“Yang Ama saksikan Soeharto itu ingin menghancurkan dan menghabisi NU. Tapi karena NU itu karomah, malah semakin kuat,” kata Ama Mudrikah dikutip dari laman NU.
Mendirikan Pesantren Siqoyaturrahmah
Pondok Pesantren Siqoyaturrahmah yang beralamat di Jalan Selabintana KM 5, Kampung Selajambu, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi didirikan Ama Mudrikah pada 1972.
Pesantren Siqoyaturrahmah didirikan di atas lahan dengan luas sekira 4.000 meter persegi dan merupakan tanah wakaf dari para tokoh dan kyai setempat.
Pondok pesantren tersebut banyak menghasilkan alumni terkemuka yang tersebar di Sukabumi serta daerah lain. Ilmu yang diajarkan tidak meninggalkan jejak gurunya, yaitu untuk tetap aktif dan berkhidmah pada NU seperti yang di amanatkan Mama Ciharashas.
Pesantren tersebut punya kajian khas yaitu ushul fiqh. Kajiannya kitab Jam’ul Jawami-nya dikenal masyhur di kalangan pesantren Jawa Barat. Tidak hanya santri yang mukim yang mengaji, tapi kiai-kiai dari beberapa daerah juga turut serta dalam pengajian itu.
Redaktur: Mulvi Mohammad Noor